POTRET GURU MASA KINI: BERPERAN atau BAPERAN?
Oleh: Mus Puthe Malaya*
Pendahuluan
Hasil belajar anak didik sangat bergantung pada peran guru. Diduga, jika kemampuan dan strategi guru rendah, maka akan sangat berpengaruh pada capaian hasil belajar siswa. Tendensi ini mengakibatkan telah sejak lama pemerintah menaruh perhatian serius kepada guru serentak kinerjanya. Tulisan sederhana ini akan mengulik sedikit tentang guru beserta perannya sebagai katalisator pembangunan Sumber Daya Manusia serentak menelisik ke dalam sejauh mana tingkat ke-sertaan guru dalam berbagai program pemerintah kususnya peningkatan kesejahteraan guru.
Diketahui ada begitu banyak program pemerintah yang dibijaki untuk meningkatkan kesejahteraan guru, disatu sisi terdengar suara minor belum ada pemerataan program ditengah-tengah para guru tersebut. Disini pemerintah belum benar-benar memantau kondisi guru kebawa dalam membuka akses ketertinggalan informasi. Ini sama halnya pemerintah menutup pintu masuk jalan peningkatan mutu pendidikan.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14/2004 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan guru harus kompeten dan profesional yang ditandai dengan uji sertifikasi dan pemilikan sertifikat pendidik. Lantas pertanyaannya apakah dengan memiliki sertifikasi tersebut sebagaimana amanat undang-undang, dapat memberikan perubahan signifikan kepada kondisi dan hasil belajar peserta didik yang diasuh? Butuh perenungan dan kontemplasi yang khusyuk untuk pemecahan persoalan ini.
Terlepas dari adanya regulasi dan juga kebijakan yang mengatur tentang guru, ada sisi lain yang perlu juga dilihat. Konteks guru dan ribuan pergumulannya dalam mencerdaskan anak bangsa kadang menyisahkan cerita piluh, dan dengan demikian tidak sedikit guru yang malah bukan “Berperan tetapi Baperan” dengan perubahan situasi dan kondisi yang ada.
Guru dan Perubahan Masa kini
Sosok guru kadang di-plesetan-kan Gugur Rupa. Maksudnya adalah kadang guru harus meletakan fungsinya sebagai pendidik sekaligus wibawanya (mengugurkan rupa) untuk bekerja multi-tasking, sebagai petani sayur, nelayan, peternak, tukang ojek dan lain sebagainya. Dan tentu semua itu dilakukan selepas melaksanakan aktivitas pokok sebagai pengajar di sekolah. Guru juga dikenal sebagai sosok ajaib yang mampu ber-kamflase dalam hidup hari-hari. Dengan kesederhananaan dan gaya “gali lubang tutup lubang” mereka terus mempertahankan eksistensi keprofesionalan mereka sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara). Banyak yang terus mempertahankan status quo hingga pensiun. Merekalah panutan sejati yang dapat di-Guguh dan di-Tiru oleh generasi berikutnya.
Di era ini, tidak semua guru mampu menjaga kontinuitas eksitensi sebagai sosok yang diguguh dan ditiru. Beberapa adegium klasik yang sering kita dengar tentang guru, kini mulai redup, karena ulah beberapa oknum yang “melacurkan” profesinya untuk meraih serta melakukan hal-hal tidak terpuji. Misalnya melakukan bisnis buku ajar, pat-gulipat dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan masih banyak lagi aktivitas seperti berbisnis barang haram akhirnya harus mendekam di balik jeruji besi. Ini adalah potret guru sesungguhnya yang kesejahteraannya masih dalam tahap perbaikan pemenuhan.
Jika kita komparasikan kondisi dan sosok guru zaman dulu dan sekarang, sangatlah jauh panggang dari api. Dari sisi penghargaan masyarakat saja, sudah sangat mencolok. Guru dimata orang dulu sangat mulia dan dihormati. Dulu guru sering dipanggil “Juragan guru” “tuan guru” dan sebagainya. Pada masa sekarang panggilan-pangilan semacam itu suda tidak terdengar lagi. Jika kita bandingkan dengan kondisi guru sekarang, sepertinya guru adalah profesi yang kurang di-respek.
Lantas pertanyaannya, mengapa kondisi ini bisa terjadi? Jawabannya hanya dua. Adanya perubahan keadaan masyarakat sehingga tidak mampu menjaga nilai-nilai etis dan moralitas sebagai warga bangsa, serentak dapat menghargai nilai-nilai keprofesionalan sebuah pekerjaan. Yang kedua yang sangat penting adalah guru itu sendiri yang menurunkan derajat kewibawaan dan melunturkan nilai-nilai keteladanan hidup yang ada, sebagaimana telah diwariskan para pendahulu. Oknum guru sekarang banyak yang berperilaku tidak terpuji alias grasak-grusuk dalam bekerja. Tidak memiliki etika profesional dan lain sebagainya.
Perubahan keadaan masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas adalah dampak dari politik secara nasional dimana munculnya kebijakan ekonomi dan politik secara nasional akibat pemerintahan Orede Baru menuju reformasi yang dibuka tanpa persiapan karakter dan mental bangsa yang memadai. Sehingga kita dapat lihat pada era reformasi dimana semua elemen dalam bernegara terlihat rapuh. Terjadi peningkatan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang marak terjadi di lingkup pemerintahan pusat sampai ke daerah menyebabkan perubahan pola dan nilai-nilai warisan kebaikan hilang. Mental dan pola hidup masyarakat kita berubah menjadi kapitalistis dan konsumtif. Nafsu dan keserakahan hedonistis telah merasuk ke dalam karakter bangsa. Akhirnya kita mengalami kehilangan akar peradaban kita sebagai masyarakat yang cinta nilai-nilai kesederhanaan, toleransi dan sikap gotong-royong dan menjunjung global-capitalism sebagai idola baru.
Kita tengah ada di dalam sebuah krisis multi-dimensi yang suda tidak bisa dibendung lagi. Kemajuan dunia teknologi telah memberi jalan tol runtuhnya nilai-nilai kepribadian kita sebagai bangsa yang beradap (Baca: beretika dan berbudaya). Ditengah krisis semacam ini lah terjadi panggilan moral (moral call) kepada setiap guru, para ulama, cendekiawan serta tokoh masyarakat untuk serius memberi solusi nyata bagi perbaikan dunia pendidikan kita, khususnya bagi eksistensi keprofesionalan guru yang berkelanjutan.
Dalam pandangan lain, bila menelusuri serta mecermati setiap pasal dalamUU Guru dan Dosen, profesi guru dan dosen memiliki peran yang cukup strategis dalam mempersiapkan generasi mendatang. Lebih tepatnya transformasi peradaban manusia dalam konteks negara yang merdeka dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju serta ditengah runtuhnya nilai-nilai kepribadian kita sebagai bangsa di tengah gempuran arus global.
Guru Berperan atau Baperan?
Guru berperan atau baperan? Sebuah pertanyaan reflektif bagi insan guru di seluruh tanah air. Pertanyaan ini secara normatif, tentu kita mengetahui jawabannya, bahwa sosok guru memberi sentuhan pedagogis dan peran sentral dalam perkembangan pendidikan di negara ini. Secara singkat penulis mengajak kita satukan persepsi kita mengenai apa itu “berperan” dan “baperan”.
Berperan berasal dari kata dasar peran. Menunjukkan adanya keterlibatan seseorang dalam suatu tugas dan fungsi yang berkelanjutan atupun sesaat (temporal). Sementara “Baper” adalah sebuah akronim dari frasa “terbawa perasaan”, yang diberi akhiran –an untuk menunjukkan sebuah aktivitas perasaan. Dimana hati sebagai pusat perasaan manusia, dilibatkan dalam melihat suatu fenomena sosial secara tidak wajar dan berlebihan.
Dalam konteks tulisan ini, guru yang baper-an adalah guru yang melihat segala perubahan secara menggebuh dengan hasrat konsumtif dan semangat viral-isme yang sangat tinggi. Misalnya dalam hal merek pakaian, produk baru, hal-hal yang trend, mode dan gaya baru. Makanan atau menu baru termasuk gaya komunikasi verbal dan non-verbal di media sosial, seperti tiktok, Facebook Real, Instagram, dan sebagainya.
Walaupun zaman telah berubah, bukan berarti guru harus merubah nilai-nilai serta filosofi hidupnya. Guru tidak berubah, guru hanya beradaptasi dengan perubahan, demikian kata seorang sahabat senior saya ketika berdiskusi tentang peran guru.
Guru dalam lembaga pendidikan sebagai pengawal idealisme dan penjaga pintu moralitas bangsa, sehingga setiap perubahan ke arah yang buruk, dapat diminimalisir guna mempertahankan moralitas tersebut. Tetapi kenyataannya terbalik. Sekarang kita melihat banyak guru yang “dimanjakan” teknologi, tidak sedikit yang mempertontonkan fulgarisme keseksian tubuh mereka sebagai hiburan saat suntuk mengajar di kelas. Banyak oknum guru juga yang viral karena melakukan perbuata-perbuatan yang tidak terpuji.
Guru seharusnya bertahan di tengah gempuran perubahan. Mereka harus bertahan pula ditengah godaan instan materialistis, dimana kejujuran dan idealisme, moralitas tak lagi memadai untuk bisa bertahan hidup, kecuali rekayasa wewenang, manipulasi jabatan untuk mendapatkan materi yang lebih baik apalagi dari segi bisnis cukup menjanjikan. Ciri globalisasi adalah konsumeris dan materialis, sebaiknya setiap sosok guru sebagai insan pendidik menyadari itu. Semua itu tentu meruntuhkan palang pintu yang dijaga sehingga dengan mudah moralitas kita ambruk.
Dari uraian ini, tidak sedikit guru yang baperan dengan berbagai tawaran konsumeristis dan hedonistis yang ada. Banyak oknum guru yang berupaya untuk memenuhi hasrat konsumtif, sementara tidak ditunjang oleh isi dompet yang memadai. Upaya demi upaya dilakukan hanya untuk memuaskan keinginan dan dahaga hedonis semata, sehingga tidak heran banyak oknum guru yang terjerumus dalam perilaku-perilaku tidak terpuji. Menjadi guru profesional perlu kepekaan sosial, emosional dan kepekaan intelektual. Dalam hal terjadi perubahan, kita tidak serta merta baper menghadapi situasi sehingga “melacurkan” profesi dan diri kita sebagai tempat melekatnya atribut profesi itu. Sehingga guru tidak lagi memiliki pesona etis dimata masyarakat.
Sebagai guru tugas keprofesionalan kita menganjurkan untuk kita berperan. Berperan dalam mendukung kebijakan pemerintah mencerdaskan anak bangsa, bukan malah sebaliknya “baperan” terhadap perubahan-perubahan, mengikuti mode, trend, dan gaya yang sifanya temporal. Profesi kita akan terus ada pada kita selagi kita hidup, demikian sebaliknya upaya menurunkan nilai-nilai diri, etika dan moralitas, akan sangat berimplikasi pada bagaimana lingkungan menghargai kita sebagai sosok yang mengemban tugas keprofesionalan tersebut.
Kesimpulan
Untuk konteks sekarang, profesionalisme guru tidak terlepas dari beberapa faktor penting, yaitu standar profesional sebagai guru, sertifikat keprofesionalan sebagai guru, dan insentif sebagai profesi guru. Jadi bukan lagi sebatas slogan atau wacana politik yang tiap lima tahun dikampanyekan untuk meminta dukungan politis guru. Meski kita ketahui bahwa netralitas ASN (termasuk TNI dan POLRI) sangat ketat dalam hal terlibat dalam politik praktis. Arah kebijakan pemerintah yang residual perlu dibaharui dengan prinsip rekognisi-subsidiaritas, sehingga guru tidak lagi “melacurkan” keprofesionalannya dalam memenuhi semua hasrat konsumeristis dan hedonistik.
Guru juga kadang terbawa perasaan (baper) dengan situasi, trend, gaya dan mode tertentu, meski sifatnya temporal. Sebagai makhluk, guru adalah manusia yang perlu mengisi dirinya dengan segala yang dinginkan hatinya. Tetapi juga harus menahan hati dari godaan-godaan konsumerisme dan trend modern. Disini guru dapat melatih diri mengutamakan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Dalam kehidupan bersosial dan berelasi ia punya wilayah pergaulan yang luas dan umum, disana masyarakat akan melihat guru sebagai sosok role model. Jika guru berpenampilan bak artis, dengan pakaian yang mahal lipstik yang menor dan bedak yang tebal akan menjadi bahan gunjingan, sementara jika guru berdandan sangat sederhana, maka itu pula akan menjadi penilaian jika guru tersebut tidak mampu mengurus diri dan lain sebagainya. Jika guru memiliki ketahanan dan mental yang memadai, maka sekiranya segala yang datang mempengaruhinya akan ditepis, dan berlalu begitu saja. Juga sebaliknya jika tidak, maka guru akan ambruk di tengah keinginan yang menjebak.
Menjadi guru profesional butuh ketahanan mental yang kuat, karena guru adalah sosok yang transparan ditengah masyarakat. Di sekolah mendidik anak-anak, sementara di masyarakat, dirinya selalu diperhatikan. Kadang dimintai pendapat dan tanggapan mengenai situasi tertentu. Mereka juga harus menjadi panutan karena guru adalah sosok yang selayaknya diguguh dan ditiru sikap dan tingkah lakunya serta tutur katanya oleh semua orang yang ada disekelilingnya.
Guru tidak perlu baper dengan keadaan, sebagai guru profesional, teruslah memberi cahaya bagi kegelapan lorong pengetahuan, semoga sampai pada tujuan pendidikan, yaitu terciptanya masyarakat Indonesia yang cerdas, berkompeten dan mampu bersaing di era yang sangat transparan ini. Semoga!
*Seorang Guru di Kab. Mappi, Prov. Papua Selatan.